Optimasi "E-mail"

Berdasarkan survei Bank Dunia tahun 2004, dibutuhkan waktu 151 hari melalui 12 prosedur "meja birokrasi" untuk mengurus izin investasi (riil) di Indonesia. Sementara Korea Selatan dengan prosedur yang sama panjangnya, waktu tunggunya jauh lebih cepat (22 hari). Berarti, kalaupun prosedur (kekuasaan) tidak dapat dikurangi, terobosan mempercepat komunikasi antarmeja birokrat dapat dilakukan.

Pada tahun 1997, Korsel sama halnya dengan Indonesia terhantam krisis finansial (moneter). Bedanya, Korsel telah bangkit hingga menjadi kekuatan industri baru. Saat krisis, gelombang PHK besar melanda Korsel, yaitu di perusahaan elektronika yang tengah tumbuh. Meski sama-sama "pasien IMF", Korsel mampu menstimulus korban PHK menjadi agen pengubah, yaitu mendorong terciptanya pengusaha mikro homebrew internet (pabrikasi antena murah wireless dan perangkat VoIP).

Di negeri ini, beberapa pihak sering berkata-kata mutiara, "korban PHK harus mengubah paradigmanya untuk menjadi wiraswastawan". Misalnya, seorang ahli manajemen dari universitas ternama, yang juga konsultan restrukturisasi PT Dirgantara Indonesia (DI), mendorong terjadinya PHK dengan wacana untuk menjadi negara kompetitif.

Faktanya, artikel Fokus (Kompas, 28/04/2007) mengangkat realita ahli nuklir (korban PHK PT DI) saat ini hanya mampu menjadi pedagang es krim keliling.

Pelajaran dari Korsel, pemimpin negara ini telah mengetahui arah perubahan bangsanya. Gagasan pabrikasi (industri mikro) perangkat keras internet, dibarengi peningkatan supply factor penggunaan teknologi informasi (TI) berbasis internet itu sendiri, yaitu menjadi protokol kegiatan birokrasi dan perekonomian.

Tahun 2000, saya pernah menanyakan kepada seorang eksekutif Bursa Saham Korsel (KSE) tentang rumus negaranya melakukan proses divestasi tanpa polemik. Jawabannya sederhana saja, dijual ke masyarakatnya sendiri (redistribusi aset). Kunci pola tersebut adalah tingginya indeks financial literate (masyarakat yang paham dan memiliki akses ke pasar keuangan).

Indeks financial literate Korsel melebihi angka 70 persen penduduk dewasanya. Ini tercapai dengan terkoneksinya internet sebagai penghubung (hub) antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Kampanye budaya investasi lokal secara masif dilakukan dengan internet life style, yaitu menghidupkan fungsi e-mail sebagai protokol komunikasi.

Tak heran, terpilihnya Presiden Roh Moo-hyun diakibatkan rajinnya dia memanfaatkan e-mail untuk berkomunikasi tentang beragam isu, dengan sebanyak mungkin orang Korsel. Media Barat memberinya julukan "Presiden Internet". Sementara di negeri ini, pemimpinnya malah sibuk "menertibkan" semua free e-mail dan blog yang "menyatut" ikonnya, tanpa langkah nyata untuk tune in di e-mail aslinya bersama rakyat.

Optimasi birokrasi

Pekan lalu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menerbitkan rilis tentang rencana kerja pemerintah (RKP) tahun 2008. Ada tiga area kunci pelaksanaannya. Pertama, konsistensi alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan (kepentingan) nasional. Kedua, kebijakan pemerintah terkonsentrasi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Dan ketiga, melakukan reformasi institusional (birokrasi) yang mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Rilis tersebut menekankan pelaksanaan koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Hal itu menjadi sentral sejak era otonomi daerah, di mana 54 persen APBN didistribusikan ke pemerintah daerah.

Naasnya, data menunjukkan alokasi anggaran terbesar (tren menaik) untuk belanja rutin pemerintah (membiayai birokrasi), bukan untuk belanja modal dan sosial yang menstimulus daya kerja dan beli rakyat. Berarti, pemerintah belum merealisasikan janjinya untuk melakukan optimasi birokrasi demi peningkatan kesejahteraan rakyat.

0 comments: