Operator Seluler Bukan Antek Teknologi [pErkembangan E-mail]

Bagi pengguna internet sejati, e-mail sudah hampir tidak bisa dilepaskan lagi dari kegiatan sehari-hari. Fungsinya sudah mendekati fungsi SMS bagi pengguna seluler. Namun, jika bicara tentang internet, kita akan selalu terpaku dengan masalahnya, sulitnya akses.

Bayangkan saja, sebagai pengguna internet, mengapa sulit sekali di negara tercinta kita ini untuk ber-e-mail? Beruntunglah mereka yang tinggal di kota besar atau dekat kampus karena tersedia banyak warnet.

Sama beruntungnya dengan mereka yang mampu membeli komputer dan punya akses internet karena bisa memanfaatkan e-mail secara mandiri tanpa perlu tergantung warnet. Lebih beruntung lagi yang memiliki notebook dan akses internet wireless, yang dapat mengakses e-mail tanpa harus bergantung pada warnet dan PC yang statis.

Dengan segala media yang tersedia tersebut, ternyata secara hitung-hitungan kasar, pengguna e-mail di Indonesia akan susah untuk mencapai penetrasi pasar kendati itu hanya satu persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Sangat disayangkan jika e-mail tidak mampu menyebar ke pelosok-pelosok negeri ini. Padahal, jika e-mail bisa tersosialisasi dengan baik dan digunakan secara massal, banyak hal positif yang bisa diperoleh untuk perkembangan ekonomi negara kita.

Bayangkan saja, jika berada di Jakarta dan perlu mengirim sebuah dokumen ke Bandung secepatnya, paling cepat memerlukan waktu sekitar dua jam dan biaya sekitar Rp 100.000 jika kita sendiri yang membawanya. Dengan e-mail, hanya butuh waktu kurang dari satu menit dan biaya kurang dari Rp 2.000! Perumpamaan ini akan lebih menarik lagi bila dokumen itu harus dikirim ke New York, AS.

Konsep massal

Akses mobile e-mail berbasis teknologi seluler menjanjikan terobosan terhadap stagnasi yang terjadi dalam perkembangan e-mail di Indonesia. Dengan mengandalkan saluran telepon tetap dan wireless internet akses berbasis WiFi, e-mail (internet) hanya bisa mencapai tidak lebih dari 10 juta titik sambungan atau sama dengan jumlah pelanggan pada saat ini.

Biaya pembangunan sebuah satuan sambungan telepon tetap sangat tinggi sehingga sulit diharapkan bertambah secara signifikan pada saat seperti sekarang. Pembangunan jaringan wireless juga tidak cukup menggembirakan karena sifat alami frekuensinya yang bebas ternyata juga tercermin dalam governance para pemainnya. Tidak ada iklim kondusif bagi para pemain WiFi di negara ini untuk ekspansi secara besar-besaran.

Teknologi seluler dengan penetrasi pasar yang sudah melebihi 60 juta pelanggan sebetulnya bisa menjadi terobosan menarik untuk secara revolusioner meningkatkan penetrasi penggunaan e-mail di Indonesia. Bayangkan, jika solusinya menarik dan gampang, dalam kondisi paling ekstrem, pengguna e-mail dan internet bisa meningkat menjadi lebih dari 60 juta pelanggan dalam waktu hanya setahun saja.

Para operator seluler mencoba membantu memecahkan permasalahan ini dengan membeli solusi dari luar, seperti Blackberry dan sejenisnya. Apakah solusi ini sukses meningkatkan secara signifikan jumlah pengguna e-mail? Ternyata tidak! Masalahnya, solusi-solusi tersebut tidak pernah didesain dan dibuat dengan konsep produk massal. Juga tak pernah dibuat dengan konsep konvergensi antara "gampang/murah didapat" serta "mudah dipakai".

Bukan antek teknologi

Hingga saat ini, semua solusi e-mail dari dunia seluler Indonesia belum ada yang cocok untuk pasar massal. Mungkin para pemain dunia seluler tengah kehilangan arah dalam pengembangan bisnis mobile data yang menjadi dasar dari solusi e-mail di seluler.

Sepertinya, harapan agar operator pemilik teknologi mampu untuk mengerti kita sebagai pengguna masih jauh dari kenyataan. Apa yang sudah kita lakukan berkali-kali dalam posisi sebagai pengguna sejak bertahun-tahun yang lalu tampaknya sekarang harus dilakukan lagi, yaitu edukasi ke para operator.

Hal pertama yang harus dipahami, teknologi ada untuk mengerti kita sebagai pengguna. Dalam konteks teknologi seluler, operator sebagai agen pembawa teknologi harus mengerjakan PR-nya untuk mengerti kita, mengerti apa kebutuhan pengguna.

Dalam konteks e-mail, yang kita perlukan adalah teknologi e-mail yang harus segampang dan semurah SMS. Produk SMS bisa kita lakukan sama gampangnya, entah dengan menggunakan ponsel PDA yang harganya sampai belasan juta maupun di ponsel sejuta umat yang berharga ratusan ribu rupiah.

Kedua, operator seluler ada untuk melayani kita, para pengguna. Bukan melayani teknologi. Dari sisi kita, para pengguna, tujuan operator yang utama adalah menjadi agen agar teknologi mampu memenuhi kebutuhan kita.

Operator bukan menjadi antek teknologi untuk membuat kita terjebak dan tergantung terhadap teknologi. Lebih penting bagi operator untuk mengerti dulu apa kebutuhan kita dibandingkan dengan fitur apa yang dimiliki teknologi mereka.

Ketiga, segampang apa pun teknologi tersebut, perlu ada yang namanya proses sosialisasi yang benar ke pengguna. Yang kita perlukan sebagai pengguna tidak hanya sosialisasi yang bersifat rayuan-rayuan yang berusaha menjual mimpi dan gaya hidup. Tetapi, juga yang lebih penting adalah sosialisasi bagaimana cara kita menggunakan teknologi ini semudah mungkin, bagaimana kita bisa lebih intim, dan bisa lebih saling mengerti dengan solusi teknologi tersebut.

Benar, setiap operator seluler di Indonesia punya layanan e-mail. Namun, berapa banyak dari kita yang kembali ke komputer untuk mengakses e-mail karena tidak memperoleh informasi yang cukup tentang bagaimana cara setting dan menggunakannya dengan nyaman dan mudah.

E-mail memang bisa menjadi killer application bagi kita, para pengguna seluler. Dan semuanya, tergantung operator untuk membuat hal itu menjadi kenyataan dengan menerapkan tiga hal di atas.

Dev Yusmananda Pengamat seluler; bekerja sebagai general manager di salah satu operator seluler Indonesia dan pernah bekerja di McKinsey & Company di Amsterdam, Belanda

0 comments: